Sore itu di sebuah pusat kota tua di Jakarta. Langit senja memerah menjemput kegelapan malam. Samar-samar dalam bayangan, burung-burung pun berterbangan untuk kembali pulang ke sangkarnya. Sementara aku dan dia yang berada diantara keramaian orang berlalu lalang dan diantara kerisuhan senja menjemput malam. Di taman dekat rel kereta api. Diantara suara gaduh kereta api yang datang dan berlalu. Hanya terpaku dan tenggelam dalam kebisuan. Hanya tatapan mata saling berpandangan. Membawaku larut dalam keheningan rasa. Rasa cinta yang mengalir di sekujur tubuh ini saat dirinya membelai lembut jemari tangan ku yang kusam oleh keangkuhan sebuah pekerjaanku di ibu kota itu.

Sungguh, rasa ini kian membara lalu mengalirlah desiran cinta dalam setiap desahan nafas terhempas lelah. Aku tak berdaya melawan kekuatan cinta ini. Cinta yang lahir tulus dari hati kecilku. Cinta yang tak bisa kumengerti, dan hadir tanpa kusadari. Namun bagiku cinta ini adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupku dan mungkin juga dalam hidupnya. Cinta yang berada pada tempat yang tak semestinya. Cinta sebagai alasan untuk menyembuhkan luka dari sebuah pengkhianatan cinta yang lainnya. Hanya saja kita tak saling menyadarinya. Entah kenapa. Kuhela nafas panjangku dan bergegas kusadarkan diri dari lamunan saat kudengar suara microphone dari sang operator memberitakan kedatangan kereta api Express jurusan Bekasi-Kota. Ini kereta ku, tapi aku seakan belum rela berpisah dengan lelaki muda yang ada di depanku ini. Aku masih ingin berada disini. Menatap langit senja berganti gelap bertaburan kerlap kerlip bintang. Dan dia pun, tak rela melepaskan genggamannya. Dan kita kembali pada kebisuan semula.

Cinta…aku mencintainya. Memang. Aku mencintai lelaki ini semenjak dia datang padaku malam itu dengan tatapan penuh syahdu. Dengan butiran-butiran air mata yang meleleh dari kelopak matanya. Bak seorang anak kehilangan puting ibunya. Dia menangis dan ini untuk pertama kalinya aku melihat seorang lelaki menangis. Ya, dia sedang sedih dan patah hati oleh sebuah pengkhianatan cinta kekasihnya. Memang hubunganku saat itu hanya sebatas persahabatan.

Persahabatan yang sebenarnya terselip puing-puing cinta diantara dinding-dinding keangkuhan hatiku untuknya. Persahabatan yang sedikit terukir di jantung hatiku oleh bait-bait puisiku tentang cinta untuknya. Persahabatan yang sedikit ternoda oleh duri bunga mawar untuknya. Namun dia tak pernah mengetahuinya. Kusembunyikan dalam-dalam rasa ini di dasaran samudra hatiku. Aku tak ingin persahabatan ini hancur karena sebuah kata cinta. Dan aku tak ingin duri bunga mawar ini mengakhiri segalanya.

Bagiku cinta ini salah dan tetap salah. Karena cinta lahir dari dua dunia yang berbeda. Latar belakang keluarga yang sangat berlainan, kenyakinan pun berbeda adanya serta usiaku yang empat tahun lebih tua darinya. Serta ketaksempurnaan yang menjadi kekuranganku hingga aku sedikit tertutup dengan kaum lelaki. Tapi entah dengan dia. Seorang lelaki muda dan bersahaja dengan statusnya sebagai Assisten Dosen di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta. Seorang lelaki yang akan pergi ke Negeri Kincir Angin karena mendapatkan beasiswa S2 akhir tahun ini. Seorang lelaki yang lembut dan baik hati serta berwibawa dalam mengambil keputusan meskipun terkadang dia seorang lelaki yang rapuh saat harus terjebak dalam luka. Seorang lelaki yang kan rela meneteskan airmatanya saat kekasih hatinya pergi meninggalkannya. Seorang lelaki yang sebenarnya kesepian dalam mencari jati dirinya. Namun dia adalah seorang lelaki yang selalu berada didekatku saat ku gundah dalam masalah. Dia selalu ada dalam jiwa dan telah berhasil merobohkan dinding keangkuhanku terhadap kaum adam hingga menerobos menyusuri celah-celah hatiku yang berakhir pada kata cinta.

Bahkan seorang lelaki yang jauh dari ajaran-ajaran Islam sebelum bertemu denganku. Bahkan Surah Al Fatihah saja dia tak tahu. Dia berbeda agama denganku tapi entah apa yang terjadi saat itu. Saat dia mengatakan cinta padaku dan saat kita untuk pertama kalinya memutuskan untuk mengikuti arus cinta melaju demi sembuhnya luka yang menusuk jantung. Tepat tanggal 23 Mei 2006, saat untuk pertama kalinya kudengar dia menyebutkan dua kalimat syahadat di depan seorang ustad dan membaca Surah Al Fatihah yang masih terbata-bata. Aku semakin mencintainya. Hingga kita memutuskan untuk saling membagi dan memberi cinta. Tapi hanya sebatas alasan menyembuhkan luka. Aku menerimanya demi cinta yang lama tertanam dalam lautan hatiku yang bertaburan duri bunga mawar.

Aku tersadar dari lamunan saat kecupan lembut mendarat tepat di kening ku yang lelah dan sesak oleh masalah pekerjaan dan kehidupan. Hidup memang sulit adanya. Tapi ketika kutatap matanya, kesejukan dan kehangatan ada di dasar hatinya. Dan perlahan kudengar sebuah permintaan terucap lirih namun dalam dan hangat dalam bathinku. Sebuah permintaan yang harus kujawab dan sebuah permintaan yang lahir dari kesungguhan hatinya. Lewat tatapan mata itu aku menemukan senyawa baru, yaitu cinta.

."Rasti, maukah kau menikah denganku?"

Bak tersambar petir, tanya itu membuat ku termenung dan terdiam dalam pandangan hampa pada seorang lelaki muda dihadapanku. Saat itu. Saat senja memerah di batas langit kota tua. Dalam teramat dalam kutatap kedua mata nan indah itu. Memang kutemukan kejujuran disana. Kejujuran akan sebuah pengakuan rasa cinta yang tulus. Tapi sekali lagi rasa ini adalah sebuah kesalahan yang nantinya akan menjadi penghalang bagi langkah kakinya meraih segala impian-impian hidupnya. Dan aku tak mau menjadi penghalang langkah itu.

Aku tak kuasa berkata sepatah katapun, hanya mampu mengulang kata dan lalu menelan ludah dalam kesunyian selepas dia benar-benar meluluh lantakkan hatiku dengan sebuah kecupan manis untuk kedua kalinya. Kecupan yang menyambar kedua bola mata ku. Sungguh terlena aku dalam rasa kecupan itu. Tapi sekali lagi kutekankan, bahwa rasa ini adalah rasa yang tak sewajarnya. Rasa yang akan membawaku terbang pada khayalan senja saja bukan pada kenyataan rasa yang sesungguhnya meskipun kulihat dari binar matanya, ada cinta yang tulus tertanam dihatinya untukku. Hanya untukku.

Benarkah cinta itu untukku? Hanya untukku? Bukankah cinta ini hanya sebatas alasan menyembuhkan luka? Aku tak ingin terbuai dalam rasa ini. Sungguh melelahkan dan menyakitkan bila harus terjatuh dan terjatuh lagi dalam kegagalanku mencari tambatan hati sebagai akhir mimpi-mimpiku.

"Menikah....maaf aku tak bisa”

Hanya itu yang kukatakan dan segera kupalingkan pandanganku ini dari tatapan itu karena aku tak ingin dia melihat ada kebohongan dalam pandanganku. Ya…karena memang aku berbohong bila aku menolak ajakannya. Tapi entah kenapa aku memilih bersikap bodoh dengan kebohongan ini.

“Kenapa ? Kenapa Rasti ? Apakah kau tak mencintaiku? Atau ada lelaki lain yang lebih berarti dalam hatimu?”

Pertanyaan Radit yang bertubi-tubi itu pun tak mampu menghancurkan kebodohanku dalam kebohongan rasa ini. Namun kali ini aku memberanikan diri menatapnya, agar dia tahu bahwa ada cinta di hatiku untuknya dan tak ada lelaki lain di hatiku selain dirinya. Tapi sekali lagi, entah kenapa aku tak kuasa berkata jujur dari dasarnya hati. Seakan kejujuran ini terbungkam dalam kebisuan, terbalut indah dalam kesombonganku dan terendap larut dalam ketaksempurnaan yang melekat di jiwaku. Dan telah terikat oleh benang persahabatan.

“Radit, mengertilah bahwa aku tak sanggup mendampingimu. Tidakkah kau melihat, ada ketaksempurnaan nampak dalam hidupku?”

Kucoba menghela nafas yang menyesakkan dada ini. Hingga jantung hatiku sesak oleh butiran-butiran cinta yang memberontak yang seakan-akan ingin menjeritkan kata cinta. Tapi kulerai diantara peluh kesahku berujung bisu ku untuk kesekian kalinya. Kuhanya mampu menatap kejujuran cinta dari bola matanya.

“Apa maksud ketidaksempurnaan itu Rasti ?” Radit membawaku larut dalam dekapannya. Dekapan hangat yang pernah kurasakan sebelumnya saat pertama kalinya berjumpa di bawah guyuran air mata bumi di ujung bulan Desember setahun lalu.

Ya…pertama kali dia memelukku saat dia terpuruk dalam luka lantaran kekasih hati di masa silamnya harus menikah dengan lelaki lain yang telah merenggut keperawanan mantannya hingga ia hamil di luar pernikahan. Saat itu, Radit terpuruk dalam pilu dan aku lah yang saat itu hanya sebatas sahabatnya menjadi tempat sandaran lelahnya meskipun cinta yang tertanam di hati telah tumbuh jauh sebelum dia belajar untuk mencintaiku. Dan kini, setelah segalanya bersemi indah seperti mimpi ku, aku menghancurkannya hanya karena sebuah kebodohanku atas penolakan ini.

Oh Tuhan, maafkan aku. Jika aku mendustai diriku sendiri. Tapi aku tak berdaya melawan ketaksempurnaan yang KAU torehkan dalam hidupku ini. Aku tahu Engkau menyanyangiku hingga KAU berikan aku seorang malaikat kecil dalam bathin ku yang akhirnya pun dia memilihku. Tapi kenapa kebimbangan ada dalam setiap nafasku ini? Tunjukkan aku Ya Robbi sebelum aku benar-benar menyesalinya.

“Radit, dunia kita berbeda. Kehidupan kita berbeda. Maka akhir dari perjalanan kita pun tak sama meskipun ada cinta diantara kita tapi ketahuilah bahwa cinta kita ini salah. Salah besar. Dan dengarkan, kesalahan ini tak ada padamu atau darimu melainkan kesalahan ini ada padaku.”

Sedikit kuhelakan sesaknya nafas di dadaku.

“Kenapa dulu kubiarkan hati ini berani mencintaimu? Dan kenapa dulu kurelakan jiwa ini kau jamahi? Dan kenapa dulu kurebahkan harapan ini pada hidupmu? Jika pada akhirnya cinta ini tak pantas termiliki.”

“Aku tak mengerti maksudmu Rasti. Aku pikir selama ini kamu benar-benar menerima aku apa adanya tapi ternyata aku salah. Dan ternyata kamu menyesal akan semua hal yang terjadi pada kita.”

“Aku tak menyesal sama sekali karena pernah mengenalmu apalagi mencintaimu. Aku tulus mencintaimu Radit. Camkan itu dalam otakmu.” Emosiku sedikit meninggi.

“Lalu kenapa kamu tak mau menikah denganku?” Tanyanya padaku dan masih dengan tatapan mata itu.

“Apa karena persahabatan yang lebih dulu mengikatkan hati kita? Apakah ikatan itu tak bisa kau lerai dan kau jadikan sebagai benang emas yang kan kau sulam menjadi bentuk hati untukku?”

Aku tak menyangka Radit akan berkata demikian. Radit, andai saja kau tahu benang emas itu sudah lama kusulam menjadi bentuk cinta dihatiku untukmu. Jauh sebelum kamu mencintaiku. Sejenak kita larut dalam bisu untuk kesekian kalinya dan hanya tatapan mata lah yang bicara.

“Apa kamu tak malu mempunyai seorang istri yang tak sempurna seperti aku?” kuberanikan diri untuk bertanya.

Terkejut dan kecewa pun nampak dari raut wajah Radit yang tak membosankan itu. Wajah yang cukup sempurna bagiku. Dan wajah yang selalu setia membagikan kebahagiaannya hanya untukku. Dan aku masih tetap tak kuasa menatap sepasang mata itu. Mata yang tajam dan penuh kekuatan cinta dalam setiap aliran darahnya. Hanya desahan nafasnya yang terdengar indah dalam alunan nada berirama cinta. Menembus relung-relung jantungku yang rapuh.

“Rasti, sekarang dengarkan aku. Tak sadarkah kamu bahwa cinta sejati telah lahir dan tumbuh dalam hati kita? Tak sadarkah kamu bahwa cinta itulah persembahan dari surga? Dan tak sadarkah kamu bahwa kita diciptakan untuk bersama berbagi bahagia dan duka? Hingga nantinya kan menjadikan kita menjadi jiwa-jiwa yang mendewasa akan rasa syukur kita pada anugrahNYA.”

Sekali lagi kutatap mata itu. Sungguh mata yang memikat dan menggairahkan. Mata yang menyimpan sejuta kekuatan cinta sejati. Mata yang teduh dalam kemesraan jiwa raga dan mata yang penuh keikhlasan dan ketulusan menjaga dan menyemaikan cinta. Bodohnya aku bila kuabaikan ketulusan itu.

Tuhan, jangan dulu KAU hancurkan kebahagiaan dalam tatapan mata itu hanya karena sebuah kesombonganku. Dan jangan dulu KAU redupkan api cinta yang menyala-nyala itu dengan ketaksempurnaan dalam hidupku ini.

“Rasti, aku mencintaimu apa adanya. Karena cinta ini tumbuh tulus dari ketulusanmu berada disampingku selama ini. Cinta ini tumbuh perlahan diantara sisa-sisa persahabatan kita dan kau setia menjaganya. Dan cinta ini tumbuh untuk pertama kalinya aku mendengarkanmu membaca surah Yassin yang kau kirimkan untuk almarhumah ibumu.”

“Cinta?” tanyaku pelan sembari menatap matanya dalam-dalam. Entah untuk keberapa kalinya kumenatap mata itu. Tak pernah jemu ada padaku bila menatap mata itu. Seakan menatap itu adalah menatap masa depan yang lebih indah dari sekarang tapi entah kenapa hatiku masih tertutup oleh kesombonganku.

“Ya…cinta yang tumbuh dan bermekaran saat aku mulai mengenal cintaNYA dan kamu lah yang mengajariku bagaimana caranya aku mencintaiNYA. Kamu ingat itu Rasti?”

“Ya aku ingat dan aku memang merasakan kehadiranmu diantara cinta untukNYA namun aku tak kuasa menjaga cinta itu lantaran cinta yang DIA anugerahi itu terlalu agung dan berharga untukku? Dan aku tak kuasa menjaga kobaran cinta itu karena aku sendiri terkadang larut dalam kemunafikanku padaNYA. Aku bukanlah manusia yang sempurna yang telah suci dihadapanNYA. Aku masih hina seperti dulu karena dosa-dosa itu masih melingkari perjalanan hidupku. Aku tak pantas meraih cinta itu. Apalagi bersama cintamu. Maafkan aku.” Kupalingkan pandanganku ke langit lepas yang sudah menghitam terbalutkan kegelapan malam.

“Rasti, percayalah.... cahaya matahari dengan kuasaNYA akan tetap bersinar walau terkadang mendung menghadang dan kamu lihat bintang di langit akan selalu berkelap kelip meskipun awan kelabu menghalanginya dan lalu tak nampakkah olehmu rembulan malam yang selalu datang walau terkadang bumi menenggelamkannya dalam pelukan malam?”

“Aku memandangmu laksana mentari itu yang setia menyinari isi hatiku ketika kegundahan merajai jiwa. Aku melihatmu bagaikan bintang itu yang selalu menghiasi malam-malam kelamku. Aku melihatmu bak sinar rembulan purnama bercahaya cerah meski terkadang cahaya tertutup dalam kegelapan malam. Aku akan menjagamu dalam cinta sejatiku diantara cintaku padaNYA.”

“Ijinkanlah aku menuai benih dalam ladang yang kau jaga itu dan ijinkanlah aku memetik bunga mawar dalam hatimu itu. Kumohon Rasti. Ijinkanlah aku mengandeng tanganmu untuk melewati segala aral melintang menuju pintu surgaNYA.” Sekali lagi kuhanya menatap dalam dan lebih dalam ;agi tatapan mata itu. Kulihat ada kesungguhan disana.

“Radit, aku senang dan merasa berharga dalam puji syukurku pada Illahi tapi sekali lagi aku minta maaf bila aku belum sanggup menjadi apa yang kamu mau. Aku belum sanggup menjadi mataharimu karena aku hanyalah sebuah derita yang selalu dan selalu akan membuatmu semakin terpuruk. Akupun belum bisa menjadi bintang berkelap kelip di malam harimu lantaran aku hanya sebuah luka yang kan selalu menyakitimu. Dan aku belum mampu menjadi cahaya rembulanmu lantaran aku hanya setetes airmata yang akan membasahi jiwa ragamu dengan tangisanku ini. Sekali lagi aku minta maaf!”

Tak sedikitpun kulihat kepasrahan dan kata menyerah dalam tatapan mata itu. Kekuatan cintanya masih membara diantara pijaran-pijaran cintaNYA. Oh…bodohnya aku jika sampai kuhempas permintaan itu. Dan betapa munafiknya aku mengkhianati janji surga dunia sebagai anugerahNYA. Sungguh Tuhan, hancurkanlah pintu kesombonganku untuknya dan bukakanlah hatiku untuk ikhlas menerimanya dalam ridhoMU dan kehendakMU ini. Sungguh aku mencintainya namun ku tak kuasa bicara. Kudiam dalam kebisuan dan kebodohan.

“Belum cukupkah kau untuk menerima ku Rasti? Aku janji, aku akan menghapus lukamu itu dengan cinta suciku. Aku akan membasuh deritamu dengan bahagia kasihku dan aku akan mengusapkan jariku pada uraian airmatamu dengan kehangatan kasih sayangku dalam ketulusan cinta sejatiku.” Radit memelukku dan kali ini aku merasa adalah pelukan dengan penuh harapan. Dan kuhempas pelukannya. Tanpa kulepas tatapan mata ini.

“Radit, aku memang mencintaimu namun apalah arti cinta ini untukku? Bila kamu sendiri belum cukup mengenalku. Sadarilah bahwa aku tak pantas untukkmu. Anggap saja aku laksana baju baru mu namun ternyata aku tak cukup membalut dan menghiasi kekarnya tubuhmu ini.” Kuraba dada Radit yang cukup kekar dan kuat memelukku.

“Kamu salah Rasti. Bagiku mengenalimu adalah memilikimu. Dan untuk lebih mengenalimu akan terjadi bila kita sudah satu dalam ikatan batin, dalam kehangatan cinta sejati dan terikat dalam sebuah pernikahan suci nan abadi.” Semakin erat dekapannya hingga dada kian terdesak oleh gumpalan kata cinta yang bergemuruh di hatiku. Namun ku masih sanggup bertahan dalam kesombongan ini. Sungguh malangnya cinta di hati ini. Tuhan maafkan aku dan hempaskan kesombongan ini, luluhkanlah oleh kekuatan cinta yang kumiliki di hatiku. Kumohon padaMU Tuhan. Dalam bathin kumampu berkata.

Sekali lagi aku hanya mampu menatap mata itu, entah kenapa mungkin saja aku sedang mencari kebenaran diantara kejujurannya. Semoga saja akan ada cahaya suci yang menerangi kegelapan kalbuku.

“Apa kamu benar-benar mencintaiku? Mencintaiku berarti kamu harus banyak belajar meleraikan luka yang ada dalam hidupku. Terlalu banyak luka yang menggores sepanjang perjalananku. Apakah kau sanggup menghapusnya?”

Masih dalam dekapannya dan kali ini Radit sedikit melerainya dan memberi celah untukku sejenak bernafas menghempas gelisah. Tangannya yang lembut pun tak lupa membelai wajahku yang kian lelah menahan resah.

“Insya Allah Rasti. Dengan ijin Allah kita bisa dan dengan cinta suci yang kita miliki, kita bisa. Lantaran kamu pantas dan sudah saatnya kebahagiaan itu kau dapatkan.”

“Kebahagiaan? Kebahagiaan apa yang kan kau berikan untukku? Setelah sekian lama derita menghujaniku. Tak mudah kebahagiaan itu meredakan airmata ini. Sungguh Dit, aku tak menolak permintaanmu ini namun aku ragu akan diriku yang tak sempurna ini. Apakah aku mampu membahagiakanmu? Dan memberimu ladang cinta yang suci untuk kau jamahi?”

Kali ini benar-benar kuhempaskan pelukan dan sentuhan jemarinya dari jiwaku yang sebenarnya haus akan gairah cintanya. Kupalingkan pandanganku pada kegelapan malam.

“Apalah arti dari kesempurnaan itu Rasti. Bagiku kesempurnaan itu hanya milik Allah dan kita sebagai umatNYA sama sekali tak memiliki kesempurnaan itu. Jika hati sudah terikat oleh jiwa dan bila cinta sudah tercipta maka tak pantaskah aku mempersembahkan cinta ini untukmu? Dan tak mungkinkah ku rengkuh keindahan sanubarimu menghiasi sepanjang hidupku? Aku yakin akan ada ladang keindahan dalam jiwamu yang akan aku singgahi nantinya. Ingat Rasti, sesuatu yang tak indah akan lebih indah bila terpadu oleh ketulusan dan kejujuran.”

Suaranya jelas di telingaku dan dekapannya hangat terasa saat Radit memelukku dari belakang punggungku ini. Bulu kudu ku berdiri dan aku merinding oleh desahan nafasnya yang menjalari sekujur tubuhku. Sungguh kehangatan cinta yang lahir dari dasarnya hati yang tulus untukku. Sungguh sayang bila hal ini kulewatkan. Tuhan tunjukkanlah jalan kebenaran. JalanMU menuju kebahagiaan.

“Aku melihatmu tak lebih dari kesempurnaan yang kumiliki namun aku melihatmu dari dasar samudra hatimu. Jiwamu nan tulus dan suci mengikatku erat dalam buaian kasihmu. Hatimu yang bening dan menenangkan jiwaku telah sanggup menenggelamkan hatiku larut dalam samudramu, maka tak pantaskah aku berlabuh dalam samudramu nan tenang itu?” aku semakin tenggelam dalam kehangatan cintanya. Sungguh kumelayang namun tetap kubertahan dalan kerasnya jiwaku. Kuhempas dekapan itu untuk kesekian kalinya. Dan kuredakan detak jantungku yang melaju kencang oleh desahan nafasnya yang terdengar jelas di telingaku.

“Rasti, aku akan menghiasi lukamu dengan cinta. Aku akan membasuh deritamu dengan cinta. Aku akan mengusap airmatamu dengan cinta hingga ketaksempurnaanmu itu akan tertutup oleh cinta. Kamu tak perlu menyesali dengan ketaksempurnaan yang telah kau miliki lantaran ketaksempurnaan itu adalah awal dari kebahagiaanmu. Percayalah bahwa itu adalah AnugrahNYA.”

Aku sedikit tersentak dengan kata-katanya.

“Menyesal!! Aku tak pernah menyesali ketaksempurnaan ini. Kau tahu, bila aku menyesal sudah dari dulu aku membenci orang tuaku yang telah membuatku berada di dunia ini dan bila aku bisa memilih aku tak ingin berada disini tapi apa yang terjadi? Teramat besar rasa cinta dan kasih sayang ku untuk mereka yang telah membuatku berada meskipun akhirnya salah satu dari mereka harus pergi ke surga disaat aku sangat-sangat membutuhkannya. Ibu telah pergi menuju istana Surga Illahi. Dan aku harus tetap tegar berdiri dan berlari mengejar mimpi. Aku tak ingin lagi tertinggal oleh kereta api yang kan membawaku melaju menembus hari.”

“Dan kau harus tahu, bila aku menyesal mungkin sedari dulu aku telah bunuh diri lantaran aku telah lelah dan malu menanggung sejuta ejekan dan cacimaki dari sejuta manusia yang kutemui. Entah anak-anak, entah orang dewasa. Tapi aku tak peduli dengan mereka, meskipun hati kecilku menjerit dan menangis namun aku tak kuasa membalasnya karena bagiku ejekan merekalah yang membuat ku merasa kuat hingga aku bertahan dalam tangis dan airmata terurai.”

Kuhela napasku dalam kesunyian malam yang kian larut.

“Itu yang kusuka darimu Rasti. Begitu istimewanya hatimu hingga kamu tumbuh menjadi bunga mawar yang tak berduri. Kau tumbuh menjadi anak ranting yang kuat dan kekar meskipun terkadang kau rapuh oleh pelukan alam. Maka kini tak bolehkah aku memetik mawar itu lalu kuciumi aromanya hingga mampu menutupi rasa malumu dengan ketulusan cintaku? Dan salahkah aku bila aku membasuh lelahmu dengan kelembutan kasihku? Aku janji Rasti, aku akan menghapus semua lukamu dan pasti akan berganti menjadi bahagia dalam hidupmu meskipun aku belum sanggup memberikan lebih dari kemewahan yang termiliki nanti.”

Kutatap mata itu lagi dan masih sama dengan dengan tatapan mata yang menyimpan kekuatan cinta yang sejak awal Radit berikan untukku.

“Kamu pikir kemewahan sanggup menghapus luka? Luka yang termiliki ini tak kan pernah terhapus oleh apapun. Luka ini akan selalu memberikan bekas meskipun telah terhapus oleh kebahagiaan. Luka bagiku adalah jejak keabadiaan. Sadarkah kamu akan hal itu? Coba saja kamu menghapus tulisanmu yang salah dengan tipe-X atau penghapus, masih akan nampak jejak dari kesalahan itu? Dan itulah luka.”

“Rasti, biarkan luka itu, memberimu jejak lantaran bagiku kesalahan yang telah meninggalkan jejak akan menjadi pedoman dalam hidup kita. Hingga kita tak kan lagi melakukan dan menggulangi kesalahan itu. Untuk itulah aku menikahimu lantaran aku ingin membasuh lukamu meskipun luka itu tetap ada dalam jejakmu setidaknya kamu tak akan lagi dan berharap tak akan pernah merasakan luka itu kembali.”

Untuk kesekian kalinya dan kesekian kalinya kutatap kedua mata itu. Mata yang sungguh bicara tentang cinta dan mata yang sungguh mengharap kehangatan cinta. Mata yang tak pernah berdusta. Setidaknya kali ini, sama sekali tak kulihat dusta ada dibalik kedua mata itu. Kini aku hanya mampu menangis, entah apa yang kutangisi. Kelopakku tak sanggup lagi menahan bendungan air mata ini. Aku menangis dalam hancurnya sikap angkuhku, aku menangis diantara luluhnya kesombonganku dan aku menangis dalam pelukan cintanya.

“Rasti, datanglah dalam pelukanku dan menangislah sepuasmu, leburkanlah segala kegundahan dan deritamu dalam kehangatan dekapanku. Dan rebahkanlah deritamu dalam jiwaku lalu biarkanlah lukamu itu berubah menjadi sebuah kenangan dalam perjalanan waktu seiring bumi berputar dengan ketulusan dan kejujuran hati kita. Aku mencintaimu apa adanya. Dan cintailah aku seperti aku mencintaimu.”

Tak sanggup lagi kubendung airmata ini dan aku pun luluh dalam pelukan hangatnya. Aku menagis, menangis dan menangis tapi entah apa yang kutangisi. Apakah aku menagis karena aku bahagia? Atau aku menangis karena telah berhasil merobohkan dinding keangkuhanku? Atau…ah entahlah. Sekarang aku hanya ingin bahagia. Sungguh aku ingin hanya ada bahagia diantara aku dan dia. Dia yang menjadi pelabuhan terakhir hatiku dan dia yang akan membawaku pergi ke Negeri Kincir Angin itu. Wow…..

Tuhan, terimakasih. Kini telah kau temukan arti cinta yang sesungguhnya dibalik tatapan mata itu. Semoga ini kan abadi selamanya bukan hanya cinta persinggahan dalam hidupku semata. Karena cinta ini tak pernah salah melainkan anugerah MU yang patut kusyukuri. Alhamdulillah….
Diposting oleh Elang Abd...

0 komentar:

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates